Reflective thinking dan critical thinking, apa bedanya?

Reflective thinking – memikirkan apa yang telah kita pelajari (atau baca). Dalam reflective thinking, kita berusaha untuk mengidentifikasi poin-poin penting dari informasi yang telah kita dapatkan. Tujuan utama reflective thinking adalah memahami topik yang kita pelajari.

Critical thinking – mengevaluasi apa yang telah kita pelajari (atau baca). Untuk bisa melakukan critical thinking, kita harus terlebih dahulu mampu melakukan reflective thinking. Kita harus paham dengan topik yang kita pelajari. Kalau belum paham, bagaimana mau mengevaluasi? Make sense ya. Dalam critical thinking, kita mengevaluasi informasi (termasuk data) untuk menghasilkan argumen yang merepresentasikan sudut pandang kita. Tujuan utama critical thinking adalah menghasilkan argument/sudut pandang berbasis evaluasi yang objektif akan informasi.

Begitu ya.

Gap dan Novelty: Apakah Keduanya Sama?

No, beda. Gap adalah celah kosong yang ditinggalkan oleh penelitian-penelitian sebelumnya. Celah kosong ini beragam dan bisa muncul pada tingkatan yang berbeda (baca post saya sebelumnya). Novelty adalah temuan dan kesimpulan dari penelitian kita yang mengisi celah kosong tersebut.

Bayangkan ini. Anda masuk ke sebuah gudang (area penelitian), dan menemukan banyak kotak kardus. Kotak kardus itu ada yang terisi penuh, ada yang setengah kosong, bahkan ada yang nyaris kosong. Seberapa besar kekosongan di dalam kotak kardus itu, that’s the gap! Jadi, gap adalah kekosongan yang ditinggalkan orang lain (peneliti lain) yang sebelumnya mengisi kotak-kotak itu. Tugas kita adalah, menemukan kotak-kotak yang belum penuh, menemukan celah kekosongan. Semakin besar ukuran kekosongan, maka semakin ‘signifikan’ upaya kita untuk mengisi celah itu. Novelty adalah apa yang kita tuang atau isikan ke dalam kotak-kotak tadi supaya kotaknya menjadi penuh. Semakin banyak yang kita tuang atau isikan, maka semakin besar pula kontribusi kita terhadap gudang itu (area penelitian).

Jadi, empat hal ini saling terkait satu sama lain: gap, significance, novelty, dan contribution.

Gap itu celah atau kekosongan. Significance merujuk pada ukuran celah atau kekosongan itu. Semakin besar celahnya, maka penelitian yang bertujuan mengisi celah itu menjadi semakin penting. Novelty adalah hasil penelitian dan kesimpulan yang mengusi celah atau kekosongan. Last, contribution merujuk pada penjelasan tentang bagaimana novelty mengisi celah atau kekosongan tadi. Apa saja yang mengisi celahnya? Itu kontribusi. Semakin besar atau banyak, maka semakin besar atau banyak juga kontribusi kita.

Gitu ya. Gap, significance, novelty, dan contribution

Mencari Gap Penelitian

Mengidentifikasi gap itu gampang-gampang susah. Dibilang gampang, tapi bikin pusing juga. Dibilang susah, tapi doable – bisa dilakukan. Apa sih maunya? 😁

Nah, kalau teman-teman tidak punya pegangan kerangka untuk mencari dan menemukan research gap, teman-teman bisa menggunakan panduan sederhana ini. Kalau sudah ada, ya alhamdulillah.

Pertama, jangan melihat research gap sebagai suatu hal yang besar. Research gap bisa ditemukan di setiap tingkatan dan tahapan penelitian. Gap yang kita temukan di tingkatan/tahapan yang berbeda secara akumulatif akan berkontribusi terhadap significance, terhadap seberapa penting penelitian harus kita lakukan. Jadi, gap bisa banyak macamnya ya 🙂 dari yang kecil printil, sampai yang segede kingkong (VS Godzilla) di tingkatan teori.

Kerangka Identifikasi

Berikutnya, teman-teman bisa menggunakan kerangka ini untuk mengidentifikasi gap di tingkatan/tahapan yang berbeda. Jangan lupa buat coretan ya (catatan+grafis/ilustrasi), supaya gap bisa kita visualisasikan, bisa dilihat sebagai gambar. <— teknik sederhana ini bisa membantu kita memahami konsep yang rumit.

Ini kerangkanya,

Theoretical (and conceptual) gap – Berkaitan dengan teori/framework yang membingkai penelitian; teori apa yang digunakan untuk memahami atau menjelaskan topik penelitian. Gunakan teori lain atau rancang kerangka teori yang berbeda. Konsep apa yang digunakan penelitian sebelumnya? Bagaimana konsep itu didefinisikan/dipahami? Gunakan definisi yang berbeda (jika ada)

Methodological gap – berkaitan dengan metodologi. Untuk topik yang kita teliti, apa ragam metode yang digunakan? Metode apa yang sering digunakan? Metode apa yang jarang atau belum pernah digunakan? Aspek ini berlaku juga untuk aspek-aspek lain dalam metodologi, seperti instrumen, participants, analisis, dll.

Empirical gap– berkaitan dengan hasil dari penelitian sebelumnya. Apakah penelitian sebelumnya memiliki kelemahan yang mempengaruhi data atau kesimpulan? Apakah kesimpulan penelitian sebelumnya bisa digunakan atau berlaku untuk konteks penelitian kita?

Practical gap – Gap terkait aspek praktis.

Untuk menemukan gap, tentu kita harus memahami penelitian kita terlebih dahulu ya. Baru kemudian juxtaposing, membandingkan penelitian kita dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dan menempatkan pada/mengaitkan dengan teori/konsep yang ada.

Kadang, menemukan gap itu sulit karena kita tidak memahami penelitian kita sendiri. Betul?

Data is -atau- Data are?

The data is -atau- the data are? Keduanya bisa digunakan, dan keduanya benar, tergantung konsensus/konvensi dalam satu bidang ilmu.

Kenapa berbeda?

Kenapa bisa berbeda? Kenapa sebagian bidang ilmu menggunakan ‘the data is’ – dimana data dianggap uncountable, dan bidang ilmu lain menggunakan ‘the data are’ – data dipandang sebagai countable dan plural?

Konsensus/konvensi tersebut sangat erat kaitannya dengan filosofi yang dominan* dalam satu bidang ilmu: apakah data dianggap sebagai informasi sehingga menjadi uncoutable -atau- data dianggap sebagai kumpulan fakta sehingga menjadi countable.

Keduanya benar

Keduanya benar kok, tidak ada yang salah. Hanya tergantung kesepakatan dalam bidang ilmu. Silahkan cek bidang ilmu masing-masing ya. Kamu menggunakan ‘data is’ -atau- ‘data are’?

 

* Catatan. Saya tulis filosofi yang dominan, karena bidang ilmu berpijak pada filosofi yang sangat beragam.

Resep Menulis

Sebenarnya, apa sih resep menulis supaya tulisan kita ‘berisi’ dan mudah dipahami pembaca? Apakah ada resep khusus atau resep rahasia yang diturunkan dari Planet Namek yang berada pada kordinat 9045XY dalam Tata Surya 7?

Tidak ada resep rahasia

Tidak ada resep rahasia menulis. Hanya, kita sering melupakan hal-hal sederhana yang menjadi bagian penting dari proses menulis. Misalnya, membaca sebagai proses mencari bahan tulisan. Banyak mahasiswa mengeluh kesulitan menulis. Pak, saya mengalami writer’s block. Saya tidak bisa menulis satu kalimat pun. Ketika saya tanya, apa sudah membaca buku? Jawaban yang sering muncul adalah… bisa ditebak ya. Belum! atau hanya satu dua buku.

Membaca adalah bagian penting dari proses menulis. Dalam workshop, saya sering menyampaikan bahwa kita perlu membaca banyak supaya kita bisa menulis dengan baik dan produktif. Tanpa membaca, mustahil kita bisa menghasilkan tulisan. Lebih spesifik lagi, tanpa membaca materi-materi, buku-buku yang baik, sulit bagi kita untuk menghasilkan tulisan yang baik. Untuk bercerita tentang bagaimana memasak mi instan yang pas, kita perlu membaca panduan memasak yang tercetak di belakang bungkusnya. Bukankah begitu?

Kedua, kita sering melupakan proses reflektif setelah membaca. Apa itu? Reflektif, berpikir tentang poin penting dari apa yang sudah kita baca. Apa informasi penting dari materi yang sudah saya baca? Bagaimana informasi ini terkait dengan informasi lainnya? Dan yang lebih penting, apa yang bisa saya sampaikan berdasarkan banyak informasi yang sudah saya baca? Proses reflektif menghasilkan argumen, menghasilkan sudut pandang kita akan suatu topik berbasis dari beragam informasi yang kita dapatkan dari proses membaca. Hayo, siapa yang sudah membaca banyak tapi masih ndak tau mau menyampaikan apa? Mungkin anda melewatkan proses reflektif.

Next, outlining! Tulisan yang baik adalah tulisan yang direncanakan. Apa artinya? That means kita sudah membuat kerangka tulisan sebelum menulis, berpikir tentang bagaimana ide-ide akan ditata dan bagaimana kita akan menyampaikan ide tersebut. Outlining bukan sekedar membuat daftar poin ide yang akan kita sampaikan. No, lebih dari itu. Outlining adalah proses kreatif dimana kita harus berpikir dan merancang bagaimana ide atau kumpulan informasi harus ditata agar membentuk alur argumen atau alur cerita yang baik. People love stories! Alur argumen atau cerita yang baik akan memudahkan pembaca untuk memahami gagasan yang kita sampaikan.

Last, polishing. Polish, polish and polish! Ah saya sudah selesai menulis. That’s it! Kita sering enggan (atau malas) mempoles tulisan kita sendiri. Editing dan proofreading! Iya, editing untuk memastikan substansi tulisan kita, ide ditata dengan baik, dan semua maksud/gagasan tersampaikan dengan kalimat-kalimat yang jelas dan mudah dipahami. Proofreading untuk memastikan tidak ada kelasahan <–  nah ini contohnya! Untuk memastikan tidak ada kesalahan-kesalahan dalam tulisan yang bisa mengganggu mood pembaca. Tulis dengan bahasa yang baik, diksi yang pas, dan jangan lupa TATA BAHASA! Grammar, ladies and gentlemen! Itu penting banget!

Ok, saya ringkas ya. Supaya tulisan kita menjadi lebih baik, jangan melewatkan empat tahapan ini:

  1. Membaca
  2. Refleksi informasi yang kita dapat dari proses membaca
  3. Outlining (membuat rencana/kerangka tulisan)
  4. Polishing – editing dan proofreading

Semoga bermanfaat 🙂    Semoga tulisan kita menjadi lebih baik

Authorial Voice

Semua karya tulis, termasuk artikel ilmiah, membawa authorial voice yang menunjukan identitas dan persona penulis.

Cara penulis membangun authorial voice di dalam tulisannya menjadi sangat penting karena metode yang digunakan berkontribusi kepada keberterimaan karya tulis yang dihasilkan. Authorial voice yang baik membantu pembaca memahami artikel.

Sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan authorial voice?

Begini, coba bayangkan anda sedang berbicara dengan seorang anak berusia 5 tahun. Anda ingin mengajak dia makan es krim. Jenis kalimat apa yang akan anda gunakan untuk meyakinkan dia untuk ikut makan es krim bersama anda? Bagaimana dengan isi dan diksinya? Apakah anda akan bercerita tentang komposisi kimia es krim dengan istilah-istilah teknis? Atau anda akan bercerita tentang rasa es krim coklat yang enak dengan bahasa yang mudah dipahami? Nah, isi dan bahasa yang kita gunakan (termasuk diksi, istilah teknis, frasa khusus, jenis kalimat) menghasilkan gambaran tentang siapa kita dari sudut pandang anak itu. Bagaimana dengan artikel ilmiah?

Sekarang kita bawa analogi tersebut ke dalam konteks penulisan artikel ilmiah. Artikel ilmiah adalah salah satu media komunikasi bagi para ahli di bidang tertentu. Lo, tapi saya kan bukan ahli. Mungkin anda memiliki pandangan seperti itu. Sama, saya juga merasa bahwa saya bukan ahli. Tapi, perlu kita pahami bahwa artikel ilmiah adalah media bagi ahli untuk saling bertukar argumen, bukan media bagi anak-anak yang tertarik dengan iming-iming es krim 🙂   sehingga, isi dan bahasa yang kita gunakan harus berada pada tingkatan tersebut.

Authorial voice adalah identitas penulis di dalam tulisan yang dibangun dengan penggunaan bahasa dan pemilihan topik/isi tulisan. Authorial voice yang baik adalah yang sesuai dengan jenis tulisannya, bukan yang melulu menggunakan kalimat ala-ala professor kosmos dari galaksi lain 😀    Darimana kita bisa belajar membangun authorial voice yang baik? Banyak membaca dan sering berlatih menulis. Tidak ada cara lain.

Satu lagi, jangan lupa menyimpan frasa-frasa penting dari area kita masing-masing. That will help. Itu akan membantu kita berkomunikasi dengan kolega penulis/peneliti yang sekaligus pembaca karya kita.

Terakhir, my question, apa yang ada di benak anda ketika membaca tulisan in? Apa yang anda bayangkan tentang penulisnya?

Ngeri kan haha…

Jenis Kalimat Sitasi

Ketika mensitasi, kita dapat menggunakan dua jenis kalimat, yaitu kalimat author-prominent dan kalimat information-prominent. Kapan kita harus menggunakan jenis kalimat sitasi tersebut?

Kalimat author-prominent adalah jenis kalimat dimana nama penulis yang kita sitasi menjadi bagian dari kalimat utama, dan biasanya muncul di awal kalimat. Misalnya, (1) Maxwell (2019) argues that … ; According to Krashen (2016), … Kapan kita harus menggunakan kalimat yang author-prominent? Jenis kalimat ini kita gunakan jika kita ingin menunjukan siapa yang menyampaikan ide/pendapat yang kita kutip. Tidak semua penulis yang kita kutip harus dimunculkan di depan kalimat, hanya figur/tokoh yang ‘prominent’ (berpengaruh atau terkenal) di area kita. Jenis kalimat ini akan menghasilkan efek ‘ini lo, tokoh ini menyampaikan begini’. Tapi ingat, jika terlalu banyak/sering menggunakan kalimat jenis ini dalam tulisan, maka ‘authorial voice’ anda akan menjadi lemah. Suara atau sudut pandang menjadi tidak dominan (This is not good!)

Berbeda dari kalimat author-prominent, jenis kalimat information-prominent tidak menempatkan nama penulis yang kita kutip di dalam kalimat utama. Nama penulis bukan bagian dari kalimat sitasi. Misalnya, (1) This becomes a space for learners (Sudiarto, 2018), atau (2) … should be included in the analysis (Dimble, 2010). Kapan kalimat jenis ini harus digunakan? Kalimat information-prominent digunakan jika kita ingin menonjolkan ide/informasinya, bukan penulis/pemilik ide. Dalam kalimat ini, siapa yang menulis menjadi ‘less important’ – kurang penting dibanding ide/informasi yang disampaikan. Jika yang menyampaikan ide/informasi bukan figur/tokoh yang ‘prominent’ di satu area, maka kita bisa menggunakan kalimat information-prominent. Efek baik dari penggunaan kalimat jenis ini adalah munculnya ‘authorial voice’ kita sebagai penulis. Suara atau sudut pandang penulis menjadi lebih dominan.

Jadi, bagamana kita harus menggunakan dua jenis kalimat sitasi tersebut? Gunakan lebih banyak kalimat information-prominent supaya suara kita sebagai penulis lebih muncul dan dominan; kalimat author-prominent secukupnya saja, untuk memberi kesan ‘this big name also says this idea’.

What about epistemology?

In the previous post, I briefly explained ontology, which can be understood as ‘what exists in the world’ or ‘the reality’ – the source of knowledge. What about epistemology?

Epistemology is how we see knowledge. In other words, it is the study of knowledge. Different from ontology which reflects how researchers perceive the reality, epistemology is about how knowledge (which is obtained from the reality – from what exists in the world) is constructed. Let me write it again. It is about how knowledge is constructed. This affects the way researchers see a research object (or objects)

Objectivist epistemology assumes that the meaning of an object (research object) exists within the object. That’s why it’s called objective 🙂  Researchers with this epistemological position believe that a research object has an objective meaning. On the other hand, constructionist epistemology assumes that the meaning of an object derives from the interaction between the object and the subject/researcher. Imagine this, the meaning of a book emerges from the interaction between the book (the object) and the researcher/reader (the subject). Different researchers/readers might experience different interactions, and the different/various meanings from such interactions contribute to the reality or the knowledge – to what we know about a research object.

Subjectivist epistemology is the opposite pole of objectivist epistemology. Researchers with this stance believe that the meaning of an object come from -or- is given by the researchers, not from the object. An apple is an apple because I call it an apple, because I give meaning to it.

What we believe about the meaning of a research object frames/guides the way we conduct research. Therefore, epistemology becomes the foundation of our methodology.

 

 

Ontology: what’s this?

In a simple sentence, ontology is about what exists, about which individuals can acquire knowledge. It’s the study of being. Why researchers need to understand their ontological position? It’s because ontology helps researchers establish their conclusions in research, especially how certain they can be about the research objects.

For example, researchers with realist ontology believe that there is one single reality, therefore, one single truth. On the other hand, researchers with relativist ontology hold the perspective that reality is constructed in the mind, and therefore, reality is relative depending on how the researchers experience and see it.

So, what’s your ontological stance? Do you believe that there is only one ‘single truth’ or that ‘truth’ – reality depends on how individuals (including you) perceive it?

#invictus

“Life is mostly froth and bubble, Two things stand like stone. Kindness in another’s trouble, Courage in your own.” ― Adam Lindsay Gordon

Proudly powered by WordPress | Theme: Baskerville 2 by Anders Noren.

Up ↑