Geng Filosofi Riset dan Aliran Metodologisnya

Kalau saya menyebut istilah ‘geng motor’, pasti sampeyan langsung bisa menebak apa makna dari kata ‘geng’. Geng (English: gang) merujuk pada sekelompok orang yang membentuk perkumpulan karena adanya kesamaan, entah itu latar belakang sosial, budaya, minat atau hobi, dll. Peneliti juga punya geng! Keren ya hehe

Dari latar belakang metodologi, secara umum geng peneliti terbagi menjadi empat: geng positivism, interpretivism, pragmatism, dan realism. Masing-masing geng itu mempunyai karakteristik yang unik.

Geng positivism percaya bahwa pengetahuan didapat dari observasi menggunakan indra (senses), semuanya harus bisa diukur. Jika tidak bisa diukur, maka anggota geng positivism menganggap bahwa itu bukan pengetahuan. Mereka percaya bahwa peneliti harus objektif, tidak boleh melibatkan nilai personal dalam pengumpulan data dan analisis. Anggota geng positivism melihat diri mereka sebagai ‘the objective analyst’.

Geng kedua, geng interpretivism, memegang prinsip yang berlawanan dari prinsip geng positivism. Kalau geng positivism percaya bahwa peneliti harus objektif, anggota geng interpretivism percaya bahwa peneliti harus melakukan interpretasi di dalam penelitian. Artinya, peneliti harus menggunakan nilai personal di dalam pengumpulan data dan analisis. Anggota geng ini percaya bahwa ‘subjectivism is part of knowledge’ dan pengetahuan merupakan konstruksi sosial, bukan kenyataan yang objektif.

Karena latar belakang metodologis yang berbeda itu, geng positivism dan geng interpretivism sering terlibat tawuran. Entah itu di ruang diskusi tertulis, atau di ruang konferensi. Kalau mereka tawuran, siapa yang bisa mendamaikan?

Nah, geng ketiga, pragmatism, adalah kumpulan orang-orang selow yang bisa mendamaikan anggota geng positivism dan geng interpretivism. Ketika ada tawuran, geng pragmatism muncul menengahi. ‘Eh sob, lu ngapain sih tawuran karena hal abstrak gak jelas. Be practical gitu lo. Dunia ini terlalu rumit untuk diteliti dengan satu sudut pandang metodologis. Itu terlalu cupu sob! Pragmatis aja lah. Ayok kerjasama, yang penting tujuan penelitian tercapai’. Anggota geng pragmatism ini suka mengoprek asumsi filosofis, sehingga pengumpulan data dan analisis yang mereka lakukan sangat fleksibel. Mereka bisa menggunakan beragam pendekatan dan strategi yang berasal dari geng lain, termasuk geng positivism dan interpretivism. Slebor

Geng yang terakhir, realism, adalah gang geje. Anggota geng ini percaya bahwa realita tidak berhubungan dengan pemikiran manusia. Geng ini paling sulit dimengerti. Anggotanya terbagi menjadi dua, direct realism dan critical realism. Direct realism percaya bahwa ‘what you see is what you get’ – kalau kamu melihat kucing, percaya bahwa itu kucing, maka objek itu adalah kucing. Nah lo, bagaimana kalau itu ternyata anjing yang menyamar menjadi kucing? Critical realism berbeda. Mereka percaya bahwa objek yang diamati seringkali menipu – deceptive. Kalau kamu melihat kucing, jangan percaya itu kucing, harus kritis mengamati itu kucing atau bukan, critical.

Geng realism adalah geng yang aneh. Meskipun satu kubu, anggotanya suka berkelahi sendiri, antara direct realism dan critical realism. Mereka suka jambak-jambakan! Geng positivism dan interpretivism agak serem. Kalau mereka tawuran, semuanya jadi mencekam. Maklum, anggotanya banyak. Geng lain suka tawuran, geng pragmatism kemana?

Geng pragmatism nongkrong di warung kopi, nonton geng lain bergulat, sambil makan gorengan. Pragmatis banget kan. ‘Itu ngapain sih tawuran. Kompromi aja lah sob’.

Research Philosophy

Ketika seorang peneliti memilih metode kualitatif, kuantitatif, atau mixed-method, apa yang menjadi dasar pemilihan itu?

Pada tataran praktis, jenis metode yang dipilih bisa dikaitkan dengan tujuan penelitian dan jenis data. Ini yang sering dilakukan oleh peneliti, memilih metode berdasarkan tujuan penelitian dan jenis data yang akan dikumpulkan. Langkah ini tidak salah, namun kita perlu memahami lebih lanjut alasan filosofis yang mendasari metode kualitatif, kuantitatif, dan mixed-method – alasan ini yang menjustifikasi pilihan metode kita pada tataran filosofis. Kita harus memahami filosofi riset (research philosophy).

Apa itu research philosophy? Untuk menjelaskan konsep ini, saya meminjam definisi yang diajukan oleh Bajpai (2011), Tsung (2016), dan Saunders, Lewis, dan Thornhill (2012).

Research philosophy deals with assumption, knowledge, and nature of the study. It is related to the specific way of developing knowledge.

Filosofi riset berkaitan dengan asumsi dan pengetahuan peneliti, serta sifat/karakteristik dari penelitian yang dilakukan. Sehingga, filosofi riset menjadi dasar bagaimana pengetahuan dibangun. Pada umumnya, peneliti lebih sering mempertimbangkan aspek yang terakhir, yaitu nature of the study (yang sebelumnya sudah kita bahas sebagai alasan praktis pemilihan metode). Dua aspek yang lain, yaitu asumsi dan pengetahuan peneliti, masih jarang disentuh. Padahal, dua aspek tersebut sangat penting. Kenapa? Karena peneliti mempunyai asumsi yang beragam tentang sifat kebenaran (truth) dan pengetahuan (knowledge). Research philosophy helps us understand the assumptions.

Di bagian metodologi, kita harus menjelaskan filosofi riset dari penelitian yang kita lakukan. Hal-hal ini yang harus kita tulis:

  1. Peneliti harus secara eksplisit menyebutkan filosofi risetnya, apakah pragmatism, positivism, atau interpretivism.
  2. Alasan yang mendasari pilihan filosofi riset harus dijelaskan, kenapa pragmatism, kenapa positivism, atau kenapa interpretivism? Tidak sekedar kualitatif, kuantitatif atau mixed-methods.
  3. Peneliti harus menjelaskan implikasi filosofi riset terhadap strategi dan tahapan penelitian, serta terhadap metode pengumpulan data yang digunakan. Jika saya memegang positivism, maka apa metode pengumpulan data yang paling sesuai? Jika saya memegang interpretivism, bagaimana saya harus mengumpulkan data penelitian?

Membahas filosofi riset secara eksplisit dalam bab metodologi akan menguatkan posisi metodologis kita sebagai peneliti, sehingga reason seperti ‘saya memilih kualitatif karena malas menghitung angka’ atau ‘saya memilih kuantitatif karena saya tidak bisa menulis banyak’ bisa dihindari. Kita memilih suatu metode karena kita benar-benar memahami filosofi riset yang mendasari metode tersebut.

 

 

 

 

Proudly powered by WordPress | Theme: Baskerville 2 by Anders Noren.

Up ↑