Kecerdasan Samar

Sebenarnya sistem pendidikan kita telah mengakui dan mempertimbangkan keberagaman bentuk dan wujud kecerdasan. Buktinya, ada beragam subjek mata pelajaran yang menjadi bagian penting dari kurikulum nasional dari SD sampai SMA, yang kemudian menjadi lebih spesifik pada tingkat pendidikan tinggi. Lantas, masalahnya apa dan dimana?

Masalah ada pada penyusunan dan pelaporan pencapaian hasil belajar siswa. Nilai yang dicapai siswa dalam beragam subjek mata pelajaran kemudian [pada umumnya] dijumlahkan dan diambil nilai rata-ratanya. Pada tahapan inilah keberagaman kecerdasan siswa menjadi samar. Siswa menjadi dihargai dari nilai rata-rata seluruh mata pelajaran. Kecerdasan menjadi simplistik, tidak majemuk lagi.

Ada dua hal yang melanggengkan hal ini. Pertama, komunitas sosial cenderung melihat dan menerima nilai rata-rata seluruh mata pelajaran untuk menilai prestasi siswa. Sudah menjadi kebiasaaan – tradisi tidak formal. Tetapi, secara sistem kita juga ‘memformalkan’ praktik ini, yang kemudian mengarah pada hal berikutnya, yaitu (kedua) berbagai skema seleksi masuk pendidikan yang lebih tinggi. Apa syaratnya? Ya, nilai rata-rata. Beberapa hal memang telah dilakukan, memilih hasil belajar beberapa mata pelajaran saja misalnya. Namun, ujungnya tetap sama. Nilai rata-rata cenderung mengkerdilkan kemajemukan kecerdasan anak-anak kita.

Apa yang bisa kita lakukan?

Pendidikan berawal dari rumah. Konon, bentuk sekolah yang paling fundamental adalah keluarga, sehingga kita sebagai orang tua, om-tante, dan teman belajar bisa memberi alternatif pandangan yang berbeda. Keluarga harus mengenali kemajemukan kecerdasan anak dan kemudian memberi ruang yang cukup untuk berkembang. Tidak mudah memang, karena kita masih harus berhadapan dengan tradisi (sistem) yang lebih mengakui nilai rata-rata – tetapi patut diupayakan, kenapa?

Einstein kecil tidak akan naik kelas jika dia dinilai dari kemampuannya menggunakan bahasa. Sewaktu kecil, Einstein diduga mengidap sindrom asperger yang membuat dia tidak berbicara sampai dengan usia 7 tahun. Sampai beberapa tahun berikutnya, dia masih kesulitan berkomunikasi. Hal yang kemudian disebut sebagai ‘Einstein Syndrome’.

Proudly powered by WordPress | Theme: Baskerville 2 by Anders Noren.

Up ↑