Menulis: purely intuition or conscious modelling?

Sebagai editor bahasa, saya mendapatkan ‘privilege’ untuk mengamati tulisan-tulisan yang ditulis oleh akademisi dari berbagai bidang ilmu. Saya selalu tertarik mengamati dua hal: pertama, ragam gaya selingkung atau struktur artikel, dan kedua, authorial voice dan sudut pandang penulis dalam tulisannya. Sangat menarik

Hasil pengamatan saya

Banyak penulis berhasil menyajikan artikel dengan struktur yang bagus, mudah dipahami oleh pembaca. Mereka juga berhasil membangun authorial voice yang authoritative, sounds like an expert – sangat meyakinkan. Keren lah! Darimana asal dua hal tersebut? Bagaimana penulis mengembangkan dua hal itu?

Saya coba telusuri daftar referensinya dan kemudian membaca artikel-artikel yang dikutip. Ada pola yang konsisten antara artikel di dalam referensi dengan struktur tulisan dan authorial voice. Artinya, jika referensinya keren (terutama untuk dua hal tersebut), maka most likely tulisan yang dihasilkan penulis akan keren juga. Sebaliknya, jika daftar pustakanya acakadut, maka tulisannya akan cenderung kurang baik. This is interesting!

Jadi, menulis itu murni intuisi atau modeling?

Ini masih anekdotal ya. Kalau harus melakukan studi, ini bisa memerlukan waktu yang lama, dan mungkin bisa menjadi satu riset doktoral lagi. Tapi, kita boleh berasumsi.

My assumption. Menulis memerlukan proses modelling, dimana penulis harus mengamati tulisan/artikel model, kemudian mengadopsi atau mengadaptasi struktur tulisan dan authorial voice. Menulis akan menjadi intuitif tatkala penulis sudah sangat menguasai ragam struktur tulisan dan berhasil membangun authorial voice-nya sendiri. Implikasi praktisnya, memilih referensi tidak boleh sembarangan, tidak boleh asal nemu dari search engine. Memilih referensi harus ‘purposeful’ – harus ada alasan ilmiah kenapa sebuah artikel dikutip, scientific ground. Jangan sekedar mengutip karena alasan artikel itu ditulis mantan… eaaah #%$@

Proudly powered by WordPress | Theme: Baskerville 2 by Anders Noren.

Up ↑